DestinAsian

(Chris Devlin) #1

106


DestinAsiAn.co.iD – MAret / April 2016 MAret / April 2016 - DestinAsiAn.co.iD


“Roh nenek moyang telah hi-
lang dari Wae Rebo,” Macel Nala mem-
buka pagi dengan kata-kata ketus seputar
kampung halamannya. Saya menemuinya
di sebuah warung di Ruteng, Ibu Kota Ka-
bupaten Manggarai. Dari sini, kami akan
menempuh perjalanan 80 kilometer ke
Wae Rebo, sebuah kampung adat yang se-
dang dipuji-puji dunia; sebuah kampung
yang dihuni tujuh rumah purba.
Usai meraih penghargaan tertinggi di
bidang konservasi budaya dari UNESCO,
Wae Rebo diserbu turis. Foto-fotonya ma-
rak menghiasi media sosial. Namanya ter-
cantum dalam paket-paket tur yang
membawa kita ke sebuah permukiman
eksotis di pedalaman Indonesia. Sebuah
Negeri Hobbit dari tanah Flores, begitu
orang kadang menjulukinya. Apa yang
bisa dikeluhkan dari tempat seindah ini?
“Atas alasan tamu dan wisatawan,
jadwal ritual telah diubah,” jawab Macel.
Dia menghirup kopi, lalu melanjutkan ce-
ritanya. “Seperti Barong Wae, ritual pe-
manggilan roh leluhur yang dilakukan
pada sore hari itu, sekarang malah kerap
diadakan pada waktu pagi. Sekarang saya bertanya,
roh nenek moyang mana yang datang pagi hari?”
Saya tak menjawab pertanyaannya. Lagi pula,
bagaimana mungkin saya tahu arwah moyangnya
punya jadwal kunjungan. “Tapi saya belum pernah
ke Wae Rebo, saya ingin ke sana,” kata saya setengah
memelas kepada Macel. Hanya itu yang bisa saya
kemukakan mengenai niat saya ke kampungnya.
Tak jauh dari warung, dua unit angkutan telah
siap berangkat ke Kampung Denge, gerbang untuk
memasuki Wae Rebo. Saya tak sabar untuk pergi.
Bagi orang yang datang dari kota terik di pesisir barat
Sumatera seperti saya, Ruteng bagaikan sebuah sik-
saan fisik. Angin dari lembah bertiup saban waktu.
Kala senja tiba, kabut putih akan melingkupi se-
antero kota bagaikan sebuah selimut raksasa.
Saya tak tahu perasaan Macel usai mengetahui
saya hendak ke kampungnya sebagai “tamu,” juga
sebagai “wisatawan,” sebagai orang yang membuat
kampungnya memodifikasi jadwal ritual. Saya tak
berani bertanya. Saya hanya ingin memasuki ang-
kutan umum dan meluncur ke Wae Rebo.


Dari Ruteng, hanya ada satu angkutan umum
menuju Denge, yakni truk yang dijejali barisan
bangku di bak belakang hingga terlihat menyerupai
bus. Orang-orang menyebutnya “oto.”
Berbeda dari bus umumnya, oto tidak memiliki
jendela dan atapnya hanyalah sebuah terpal tebal.
Bangkunya terbuat dari papan dan bisa dibongkar-
pasang. Perempuan tua dan muda begitu cekatan
saat menaiki oto dengan enam roda ini. Saya duduk
di tengah, terjepit oleh kerumunan manusia dan


wajah wae rebo
seperti banyak
desa pegunungan
di Flores, Wae
rebo menekuni
bisnis kopi. kanan:
thomas pakur,
sesepuh Wae
rebo, kampung
yang tengah
bersinar sebagai
objek wisata.

beragam kargo, mulai dari sayur-mayur, ayam, ter-
mos, rak piring, hingga ban sepeda motor.
Posisi bak cukup tinggi dan tangga tidak terse-
dia. Itu sebabnya proses naik-turun oto kerap me-
nyerupai sebuah akrobat. Dua kali kepala saya di-
sundul oleh payudara ibu-ibu. Suatu kali, saat oto
belum berhenti sepenuhnya, seorang ibu memaksa
naik. Sebelah kakinya sudah berpijak di bak, semen-
tara sebelah lagi tertinggal di luar. Saat oto akhir-
nya berhenti, tubuh si ibu terhuyung ke wajah saya.
“E, maaf anak!” katanya usai meletakkan kepala
saya di belahan payudaranya. “Maaf untuk apakah,
mama?” saya bertanya.
“E, pakai bertanya. Maaf saja sudah!” jawabnya
dengan disambut tawa semua penumpang.
Dengan iringan musik bervolume tinggi dari
beragam musisi, mulai dari Bon Jovi hingga Rinto
Harahap, oto melaju di jalan berbatu, dengan jurang
dalam di satu sisi dan tebing terjal di sisi yang lain,
juga mendaki tanjakan dan melesat di tikungan
yang tak kalah tajam dari badik orang Bugis.
Pukul empat sore, saya mendarat di Kampung
Denge. Mendung menggantung di langit dan hujan
agaknya bakal segera turun. “Jangan dipaksakan,
tinggal saja dulu di sini,” kata Blasius Monta sembari
menunjuk penginapan miliknya. “Besok pagi baru
berangkat ke Wae Rebo.”
Di homestay-nya, Blasius bercerita tentang tanah
moyangnya yang tak lama lagi akan saya kunjungi.
Berbeda dari Macel yang saya temui di Ruteng,
Blasius bertutur penuh rasa bangga.
Syahdan, belasan tahun silam, setelah antro-
polog Catherine Allerton mengunjungi Wae Rebo,
Free download pdf