DestinAsian

(Chris Devlin) #1
111

DestinAsiAn.co.iD – MAret / April 2016 MAret / April 2016 - DestinAsiAn.co.iD


yang tergerus zaman, kemudian menggalang donasi
dan tenaga untuk merekonstruksinya.
Singkat kata, Wae Rebo pulih pada 2011 dan
diganjar penghargaan oleh UNESCO setahun ber-
selang. Kampung terpencil ini kemudian merekah
jadi magnet wisata baru. Ia tertera dalam sirkuit
turis di Flores, bersama objek-objek populer lain
seperti Gunung Kelimutu dan Taman Nasional Ko-
modo. Arus pelancong pun meningkat. Pada 2014,
Blasius mencatat 2.600 kunjungan dari belasan
negara. “Itu baru yang tercatat,” katanya berapi-api.
mbaru niang dibuat dari kayu dan bambu.
Bahan-bahan ini tidak dirangkai dengan paku,
melainkan pasak dan tali rotan. Rumah-rumah dari
dunia kuno ini menghadap ke susunan batu, se-
macam tempat sakral, di mana persembahan di-
letakkan dalam ritual-ritual yang penuh mitologi.
Saya tidak ingat di mana ujung cerita Blasius,
sebab cahaya bohlam akan segera padam. Selewat
pukul sepuluh malam, mesin penyalur listrik dima-
tikan dan kampung ini terkurung gelap. Tapi saya
masih ingat kata-kata ketus Macel Nala di Ruteng:
roh nenek moyang telah hilang dari Wae Rebo.

Dari Denge, saya meniti jalan setapak yang di-
penuhi tanjakan dan tikungan selama berjam-jam
menuju Wae Rebo, desa adat yang dijuluki Kuni
Agu Kalo—sang tanah kelahiran, kampung asal
yang sakral. Di perjalanan, satu keluarga Prancis
membuntuti saya. Mereka tampak gembira men-
jalani “ritus” pendakian yang menguras tenaga ini.

Desa wisata
Air terjun yang
berjarak sekitar
satu kilometer dari
Wae rebo. kiri,
dari atas: Atap
rumah dibuat dari
kombinasi ilalang
dan ijuk; seorang
wanita menenun
di kolong rumah.

Matahari belum melek saat saya memulai eks-
pedisi. Dengan degup jantung yang menderu, saya
mengira-ngira kembali: apa yang dicari para turis di
sini? Apa pula yang dikeluhkan oleh Macel Nala?
“Selamat pagi. Selamat datang di Wae Rebo.
Nama saya...,” seseorang menyalami saya sambil
menyebutkan namanya. Tidak berapa lama, saya
berpapasan dengan orang lain yang mengucapkan
salam serupa. Begitu seterusnya.
Anda akan takjub dengan keramahan orang
Flores ketika menyambut tamu, tetapi Anda akan
lebih takjub lagi dengan sambutan yang seragam
di Wae Rebo. Kampung ini memang telah dididik
untuk melayani turis “dengan sebaik-baiknya.” En-
tah kenapa, keramahan itu terasa janggal.
Saya kini telah tiba di halaman Wae Rebo. Kam-
pung yang mendulang takjub ini bertengger di ke-
tinggian 1.100 meter. Angin dari lembah di tepi
kampung berkesiur membawa kabut. Melalui jalan
setapak, saya menghampiri kampung, tapi saya tak
bisa begitu saja memasukinya. Sesuai aturan se-
tempat, saya wajib melapor, tak peduli meski tubuh
saya sudah lepek diguyur hujan.
Di dalam salah satu rumah, Nenek Caterina
berdiam menunggu tamu. Usai saya merogoh kan-
tong, dia mendoakan saya—tahapan pelaporan yang
dialami turis lainnya. Dia sempat bertanya asal-usul
saya sebelum berdoa. “Saya dari Minangkabau,”
jawab saya setengah berbisik. “O.. kami juga dari
Minangkabau,” timpal Nenek Caterina.
“Empo Maro, nenek moyang orang Wae Rebo,
datang dari Minangkabau pada tahun-tahun tak
tercatat,” katanya memulai hikayat. Alkisah, nenek
moyang dari Minangkabau berlayar ke sini ketika
gunung berapi di tengah Sumatera masih sebesar
telur itik, ketika laut menyelimuti sekujur bumi.
Mereka tiba di Flores dan membangun Wae Rebo.
“Lalu, tidak adakah tempat untuk saya yang
juga jauh-jauh datang dari Minangkabau? Tetap
harus ‘melapor’ dulukah saya?” kata saya mencoba
merayu Nenek Caterina.
Semua tamu harus “melapor.” Dan di “pos pe-
laporan,” ada syarat yang mesti ditunaikan: uang.
Nenek Caterina menggenggam lembaran-lembaran
uang kertas, lalu memukul-mukulkannya ke udara
sembari melafalkan mantra singkat, di mana
nama saya disebut di ujungnya agar dikaruniai
keselamatan. Sebuah “karunia prabayar.”
Kejadian itu mengingatkan saya pada Stamford
Raffles. Pada awal abad ke-19, perwira tinggi utusan
Inggris itu berkunjung ke pedalaman Minangkabau.
Saat hendak memasuki sebuah kampung, Raffles
juga harus membayar dengan biaya yang tidak
tanggung-tanggung kepada dewan penghulu: tujuh
tayam emas. Tapi saya tidak sedang berada di Mi-
nangkabau. Saya kini berada di “Minangkabau”
yang terletak di pedalaman Flores.
Rampung urusan di pos lapor, saya masuk ke
sebuah rumah adat yang atapnya membubung
Free download pdf