DestinAsian

(Chris Devlin) #1

58


DestinAsiAn.co.iD – MAret / April 2016


“Di sini Anda harus membayar
retribusi jika ingin mengamen,” ujar Fiona
Sweetman, pemandu saya, saat kami mele-
wati musisi jalanan yang mangkal di ka-
wasan pusat kota. “Usai membayar, jadwal
mengamen akan diatur, sehingga kompetisi
antar-pengamen berlangsung adil.”
Fiona kemudian membawa saya ke Union
Lane dan Hosier Lane. Kedua jalan ini me-
nyerupai kanvas raksasa bagi para seniman.
Banyak dinding di sini dihiasi mural, dan
uniknya, semuanya legal. “Pemerintah men-
dukung aksi para seniman jalanan,” lanjut
Fiona. “Saban hari pasti ada mural baru, be-
tapapun kecil ukurannya.”
Pengamen ditata. Mural didukung. Sulit
membayangkan semua itu terjadi di Jakarta.
Betapa banyak emosi yang harus dimuntah-
kan Ahok untuk mengatur jadwal pentas
pengamen. Betapa alot negosiasi dengan Di-
nas Pekerjaan Umum agar mereka sudi me-
nyediakan dinding untuk dicat seniman.
Ini pertama kalinya saya ke Melbourne,
dan saya beruntung bisa menemukan peman-
du yang tepat. Fiona sudah hampir 10 tahun
mengelola operator Hidden Secrets Tours. Se-
suai namanya, perusahaannya berniat mem-
bawa pelancong ke sudut-sudut kota yang
kerap luput dari brosur wisata.
Layaknya pusat informasi berjalan, Fiona
sangat mengenal kotanya. Sebelum bertemu,
kami sempat berkomunikasi via telepon guna
menyusun agenda. Usai mengetahui saya
tengah menanti di restoran Taxi Kitchen, dia
langsung menyarankan: “Coba menu salmon
buns dan candied pork.” Dan sarannya jitu.
Saya memesan bakpao berisi selembar sal-
mon yang dilumuri crème fraîche dan ditaburi
kacang macadamia; disusul oleh daging babi
yang dibumbui campuran gula dan daun
bawang, lalu disajikan dengan salad kelapa.
Bersama Fiona, saya mengarungi kawasan
CBD. Kami menyusuri gang-gang cupet yang
dijejali kedai kopi dan butik, melewati per-
pustakaan yang dipercantik area piknik, ser-
ta menyimak alunan musik indie dari toko
vinil. Melbourne sudah berusia hampir dua
abad, tapi kota ini sepertinya enggan beran-
jak tua. Tren gaya hidup terbaru, termasuk
yang berlangsung ribuan kilometer di utara
khatulistiwa, bisa ditemukan di sini.
Suatu kali, Fiona mengajak saya ke toko
musik Basement Discs. Lokasinya sebenarnya
di bawah tanah, tapi musik era 70-an yang di-
setelnya begitu berisik hingga tumpah ke
jalan. Memasuki toko, saya disambut poster
Blondie dan Led Zeppelin yang bersanding
di atas rak CD dan kaset. Entah siapa yang
masih membeli kaset di zaman digital. Base-


ment Discs seperti tempat yang mengawet-
kan masa lalu. “Melbourne terkenal dengan
budaya kopi dan brunch-nya, tapi memulai
hari di Basement Discs bagi saya adalah alter-
natif yang tak kalah menarik,” bisik Fiona.
Bagi saya, Melbourne bagaikan hasil kawin
silang antara Singapura yang tertib dan Ban-
dung yang kreatif. Dengan status pusat finan-
sial, Melbourne jelas memiliki aturan yang
ketat dan standar keamanan yang prima. Tapi
metropolitan ini tidak lantas berubah kaku
dengan mengharamkan ekspresi. Itu juga
mungkin sebabnya Melbourne dijuluki “pusat
budaya” Australia. Bahkan aliran seni Austra-
lian impressionism lahir di sini.
Saya datang saat Melbourne sedang ber-
bunga-bunga. Akhir tahun silam, lembaga
riset Economist Intelligence Unit menempat-
kannya di posisi wahid dalam daftar Global
Liveability Ranking. Ini pencapaian kelima

DISPATCHES AbouT Town

rute
penerbangan langsung
ke Melbourne dilayani
oleh Garuda indonesia
(garuda-indonesia.com)
dari Jakarta dan bali. opsi
lainnya adalah Qantas
(qantas.com.au) via
sydney dan Singapore
airlines (singaporeair.
com) via singapura.

Melbourne

Sydney

AuStrAliA
Free download pdf