DestinAsian

(Chris Devlin) #1
63

MAret / April 2016 - DestinAsiAn.co.iD

“Saya suka memotret burung di
sini. Tapi elang itu baru kali ini saya lihat,” ujar
Chen sembari menunjuk seekor elang perut
putih yang nangkring di sebatang pohon. Pria
paruh baya asal Hong Kong itu kemudian
membidikkan lensanya dan mulai menjepret.
Saya dan Chen tidak sedang berada di Kali-
mantan ataupun Papua, melainkan di hulu Ja-
lan Orchard, jalur sibuk yang dijejali mal dan
kantor. Tak disangka, belantara beton Singapu-
ra ini menyimpan suaka hijau yang mengajak
kita melebur dengan alam dan melihat satwa.
Usianya sudah 157 tahun, jauh lebih tua dari
Singapura, tapi keteduhan yang dihadirkannya
belum lekang dimakan zaman. Singapore Bo-
tanic Gardens (SBG), kebun raya seluas 82 hek-
tare, masih setia melayani turis dan warga yang
hendak piknik bersama keluarga, menonton
pertunjukan orkestra di ruang terbuka, atau
memotret burung, seperti yang dilakukan Chen.
Oasis hijau semacam itu, tentu saja, bukan
hal langka di kota-kota besar. Kita pasti pernah
mendengar Central Park atau Hyde Park. Tapi
SBG sebenarnya bukan semata sebuah paru-
paru kota. Ia telah resmi berstatus cagar dunia.
Pada Juli 2015, SBG dinobatkan sebagai Situs
Warisan Dunia—sebuah pencapaian yang mem-
buat Singapura, negara kecil dengan sejarah
pendek, bisa bersanding dengan negara-nega-
ra dengan peradaban tua di daftar elite UNESCO.
SBG merupakan kebun ketiga dunia setelah
Royal Botanic Garden di Inggris dan Orto Bota-
nico di Italia dalam daftar tersebut.
Apa sebenarnya yang membuat SBG begi-
tu spesial di mata dunia? Pertanyaan yang agak
chauvinistic, kenapa bukan Kebun Raya Bogor—
yang nyata-nyata lebih luas lima hektare dan
lebih tua 42 tahun—yang dilantik oleh UNESCO?
Eksplorasi saya di SBG dimulai dari gerbang
Tanglin. Mula-mulanya saya disambut oleh pa-
gar besi bermotif tanaman. Di dekat gerbang
tidak ada pedagang kaki lima dan pengamen.
Tidak ada pula lahan parkir liar dan kerumun-
an angkot. Rapi dan tertib. Khas Singapura.
Menyusuri jalan aspal yang membentang
lapang, tubuh saya disejukkan oleh angin se-
milir. Pohon rindang berbaris sepanjang mata
memandang. Daun dan dahan saling sengkarut
membentuk kanopi yang membendung terik.
Di jalur pejalan kaki, sejumlah pelari lalu-la-
lang. Di lapangan hijau, anak-anak berseliweran
menggemakan tawa. “Suasana di sini enak. Co-
cok untuk keluarga,” ujar fotografer saya, pria
Indonesia yang bermukim di Singapura. Dia
juga bercerita tentang rutinitas keluarganya ber-
kunjung ke kebun ini. “Paling santai-santai saja
dan main di taman. Akhir pekan paling ramai.”
Kendati ramai manusia, SBG senantiasa re-
sik, fakta yang menakjubkan mengingat tempat


ini beroperasi sejak pukul lima pagi hingga te-
ngah malam, saban hari. Satu-satunya sampah
yang saya lihat adalah daun yang berserakan.
Itu pun tidak bisa disebut sampah. Oleh penge-
lola, daun-daun kering tidak dibakar, melain-
kan diolah menjadi humus penyubur tanah.
SBG bagaikan Central Park versi Singapura.
Majalah TIME menjulukinya “hutan kota terba-
ik di Asia.” Tempat ini bukan cuma pabrik oksi-
gen yang menghidupi kota, tapi juga ruang
publik yang mengobati kerinduan kita pada ge-
meresik ranting, ranumnya bunga, juga nikmat-
nya berteduh di kaki pohon. “Suasananya te-
nang. Saking luasnya, kita punya banyak tem-
pat untuk menyendiri,” ujar Juliana, wanita lo-
kal yang mengaku gemar menyepi di SBG.
Semua itu adalah buah dari upaya perawat-
an yang serius. Pemerintah Singapura tidak
melihat SBG semata sebagai situs sejarah, tapi
juga aset untuk meningkatkan daya tarik negeri

suaka Flora
seorang turis
memotret anggrek
di Mist house,
bagian dari sentra
budi daya anggrek
national orchid
Garden. Kiri:
seorang pekerja
kebun di kaki
salah satu pohon
kapuk bersejarah di
singapore Botanic
Gardens (sBG).
Free download pdf