DestinAsian

(Chris Devlin) #1

70


DestinAsiAn.co.iD – MAret / April 2016


dijelajahi dengan balon udara. Tapi berhu-
bung ingin berada lebih dari satwa, saya pun
memilih menaiki Range Rover.
Bersama sopir bernama ajaib—Gift—saya
memulai safari di pagi yang dingin. Baru se-
bentar berkendara, warga asli lokal langsung
tampak: seekor gajah jantan yang berjalan
lamban di padang rumput. Setelah itu mun-
cul rombongan wildebeest dekil dan kawanan
impala yang gesit.
Mobil kembali melaju dan kami melewati
sepasang jerapah yang tengah menyantap
daun-daun di ranting teratas pohon acacia. Di
waktu yang lain, sopir buru-buru menginjak
rem karena belasan zebra mendadak melin-
tas. Kata Gift, yang telah bekerja selama tujuh
tahun untuk operator tur Mankwe Game-
trackers, Pilanesberg ditinggali macan tutul,
namun nyaris mustahil bisa melihat mereka
karena bulan ini rumput sedang rimbun.
Dalam perjalanan kembali ke hotel untuk
makan siang, kami melihat keluarga badak
yang sedang merumput di tepian danau,


serta seekor jackal yang berlarian di jalan, ke-
mudian langsung menghilang di balik semak
usai mendengar suara mobil.

Usai bertualang di Pilanesberg, kun-
jungan ke Cape Town membuat semangat
langsung susut. Safari dan tur kota memang
bukan kombinasi yang ideal. Tapi saya tidak
bermaksud melecehkan Cape Town. Ini kota
yang karismatik, terutama siang ini saat langit
musim panas seperti seprai biru tanpa awan.
Hotel saya pun tak kalah menawan: Table
Bay, properti yang bersemayam di Victoria &
Alfred Waterfront. Dari kamar, saya bisa me-
natap jauh hingga ke Pulau Robben yang
menampung penjara Nelson Mandela. Dalam
sesi teh sore hari di atrium hotel, panorama-
nya berganti menjadi dermaga nelayan dan
lereng berotot Table Mountain.
Saya membuka pagi dengan meluncur ke
area Bo-Kaap yang dihuni rumah-rumah ber-
warna pastel, kemudian ke Signal Hill guna
menonton gantole melayang-layang di atas
kawasan elite Sea Point. Di kantong kelas pe-
kerja Woodstock, saya membuntuti warga
keluar-masuk butik, galeri seni, dan toko ba-
rang antik di Old Biscuit Mill, bekas kompleks
pabrik yang beralih fungsi menjadi sentra
kreatif. Saya juga sempat menghabiskan be-
berapa jam di Kebun Raya Kirstenbosch, di
mana saya mengagumi beragam tanaman,
mulai dari cycad (mirip palem) yang berusia
satu abad hingga fynbos (tanaman semak)
yang memenuhi sebuah taman besar.
Tiba di hotel, saya kembali melihat fynbos,
tapi kali ini di atas meja makan Camissa. Res-
toran ini dipimpin oleh Jocelyn Adams, koki
yang gemar mengolah bahan-bahan liar khas
lokal. Kreasinya luar biasa sedap. Saya men-
cicipi skilpadjies dengan braaibroodjies (roti isi
daging sapi), serta lobster kari gaya Melayu
yang disandingkan dengan flatbread dan sam-
bal. Semuanya dipadukan dengan vintage wine
buatan Cape Winelands.
Saya sempat bertanya kepada sang koki
tentang arti dune spinach. “Akan saya tunjuk-
kan,” jawabnya. Dia meninggalkan restoran,
lalu kembali dengan menggenggam daun.
“Ini saya petik dari lahan parkir,” ujarnya.
Benar-benar penggemar bahan lokal.
Dalam perjalanan dari Cape Town menuju
Livingstone di Zambia, saya bermalam di
Johannesburg, persisnya di kawasan bonafide
di utara kota di mana hotel-hotel terbaik ber-
kerumun. Penginapan saya, The Maslow, juga
bagian dari jaringan Sun International.
Saya pernah membaca tentang penu-
runan tingkat kejahatan di kota terbesar di
Afrika Selatan ini. Saya sempat berniat ber-

suaka satwa
Gift, pemandu
safari di taman
nasional pilanes-
berg, Afrika
selatan. kanan:
Gading artifisial
dan patung macan
yang menghiasi
menara palace of
the lost city.

DISPATCHES ADvEnTurE
Free download pdf