DestinAsian

(Chris Devlin) #1

74


DestinAsiAn.co.iD – MAret / April 2016


dia mengekspresikan atmosfer yang sunyi.
Saya sempat melihat lukisan bertajuk Rumah-
Rumah di Cideng yang dibuat Arie pada 1947
di Jakarta. Lukisan ini sangat detail, presisi,
monokrom, tapi terasa akademis dan kering.
Usai mengenal Bali dan menetap di sini sejak
1956, Arie bak kuda Sumba yang lepas dari
tunggangan. Kanvasnya begitu hidup oleh
aneka objek dan warna.
Sejumlah orang masih ingat keseharian
Arie di Sanggingan. “Setiap ingin melukis,
Arie berucap, ‘selamat pagi Gunung Agung,’”
kenang Wita. Usai lukisan rampung, dia ke-
luar dari studionya untuk mencari pendapat.


“Biasanya ia bertanya, ‘bagus tidak?’ ‘Apa
yang kurang?’” tambah Wita.
Sanggingan dimiliki oleh Suteja Neka. Ke-
dekatan Arie dan Neka sudah berlangsung
lama. Pada 1970-an, Neka membeli dua karya
Arie—Blue Landscape dan Shrines Beneath the
Banyan—seharga Rp300.000, angka yang ting-
gi kala itu. Saat itu, Arie tengah kesulitan
uang. Dia cuma memiliki uang $100 yang di-
selipkan di studionya di Karangasem. Ketika
mampir ke Ubud dan menerima pembayaran
dua karyanya, Arie merasa “terselamatkan.”
Kini Arie dan Neka nyaris bertemu saban
hari. Di pagi hari, Neka biasanya akan bertamu

DISPATCHES ArT SCEnE

inspirasi Seni
sawah di Desa
tegalalang—
panorama khas
Ubud yang turut
menginspirasi
seniman young
artists. Kanan:
lukisan Arie smit
yang berjudul
Dreaming Boy
di Agung rai
Museum of Art.
Free download pdf