DestinAsian

(Chris Devlin) #1

76


DestinAsiAn.co.iD – MAret / April 2016


wajah tanpa mata, tangan tanpa jari. Pe-
ngamat merangkum kecenderungan artistik
kelompok ini dengan istilah “dekoratif naif.”
Arie bukan cuma bertindak sebagai guru,
tapi juga maesenas. Dia memberikan kertas,
pensil, dan cat warna secara gratis. Dia juga
membeli meja-meja ceki guna menyetop tra-
disi judi pemuda setempat. Setiap sketsa yang
telah diberi warna, langsung ditukar dengan
sejumlah uang oleh Arie. Tak ketinggalan, dia
meminta murid-muridnya membubuhkan
tanda tangan dan tahun pembuatan di sudut
kanvas. Tanpa disadari, petuah itu menum-
buhkan “identitas” pada anak-anak desa.
Tawaran mendapatkan uang dari melukis
dengan cepat menyebar di Desa Penestanan.
Murid Arie pun berlipat, dari dua menjadi 40
orang. Selain membeli karya anak didiknya,
Arie memikirkan aspek pemasaran. Dia me-
minta turis yang singgah di studionya untuk
menengok karya murid-muridnya. James
Pandy, pemilik Pandy’s Art Gallery, satu-
satunya galeri seni di Sanur saat itu, kerap
membeli karya Cakra dan Soki di studio Arie.
Arie bergerilya lebih jauh dengan meng-
ikutkan karya murid-muridnya di sejumlah
pameran di luar negeri. Pada 1964, 36 lukisan
diboyong ke Museum of Modern Art di San
Francisco. Selanjutnya, Smithsonian Institu-
tion membawa karya-karya young artists ke
sekolah-sekolah menengah di Amerika Seri-
kat. Jauh sebelum babak pariwisata dimulai,
lukisan young artists bagaikan brosur yang
mempromosikan keindahan Pulau Dewata.
Semua terobosan itu tak cuma melam-
bungkan pamor perupa lokal, tapi juga meng-


ubah nasib desa mereka. Semula dianggap
“keramat,” Desa Penestanan perlahan ber-
kembang menjadi objek wisata. Karya young
artists ramai dipesan kolektor—tren yang ber-
lanjut pada masa Orde Baru ketika pariwisa-
ta merekah dan turis Eropa menyerbu Ubud.
“Paling laris saat 1974,” ingat Cakra ten-
tang masa-masa indah itu. Biasanya, turis me-
markir mobil di Hotel Campuhan, lalu mere-
ka berjalan melewati jalan tanah ke Desa
Penestanan. Melihat kedatangan turis, warga
berlarian ke rumah untuk mengambil lukisan.
“Upacara di pura saja bisa ditinggal untuk
sambut turis,” tambah Cakra berkelakar.
Tanpa disadari, Desa Penestanan mem-
bentuk kutub tersendiri dalam jagat seni
rupa. Karya-karya rakyat jelata itu menjadi
semacam wacana tandingan dari, misalnya,
gerakan seni elite “Pita Maha” yang dipelo-
pori oleh Walter Spies dan Rudolf Bonnet.

DISPATCHES ArT SCEnE
Free download pdf