DestinAsian

(Chris Devlin) #1
77

Maret / april 2016 - Destinasian.co.iD

Menurut Agus Dermawan T, pengamat
seni rupa, young artists menjadi bagian pa-
ling penting dalam khazanah seni lukis di
Bali. Aliran ini menuai paling banyak peng-
ikut. “Gayanya paling berkarakter,” jelas Agus.
Namun, terlepas dari riwayatnya yang ge-
milang, eksistensi young artists kini sedang
terancam. Seni berjasa melambungkan pa-
mor Bali sebagai destinasi wisata, tapi jasa
sejarah itu tidak dibalas setimpal. Ubud telah
menjadi desa global yang kian sesak. Di Desa
Penestanan misalnya, profesi seniman terus
kehilangan peminat. Banyak orang lebih me-
milih berbisnis properti: menyewakan rumah
untuk hostel atau membangun bungalo.
“Sekarang lukisan tak laku, jadi tak ba-
nyak lagi yang mau belajar,” tutur Cakra li-
rih. Seniman kini lebih berharap pada kolek-
tor asal Jakarta seperti Jusuf Wanandi dan Rini
Soemarno. “Belum lama orang Astra membeli
lukisan saya seharga Rp95 juta,” kata Soki.

Pagi-pagi sekali, saya kembali menjenguk
Arie, berharap bisa mencegatnya di jam sa-
rapan. Dia sedang duduk di atas kursi dorong

yang tampak kekecilan untuk badannya yang
semampai. Dengan telaten, dua perawat
mengguyur tubuhnya yang bugil. Arie ge-
lagapan saat air membasuh wajahnya.
Perawat mengelap badan Arie, lalu me-
mapah tubuhnya ke sofa yang menghadap
jendela. Matanya berkedap-kedip merasakan
hangatnya sinar matahari. Selang beberapa
menit, busana kebesarannya dikenakan: kaus
oblong tanpa lengan, kupluk cokelat, sarung.
Wita hendak menggunting kukunya, tapi dia
menolak. Wita lalu mengambil lap, mele-
takkannya di paha Arie, kemudian dengan
perlahan mengambil tangan Arie dan mulai
memotong kukunya. “Selalu susah jika di-
potong kukunya,” ujar Wita. “Mungkin karena
trauma.” Konon, di zaman penjajahan, Arie
pernah melihat pejuang Indonesia disiksa
dengan dicabuti kukunya.
Perawat menyodori cangkir plastik berisi
sereal. Pelan-pelan Arie memegang gelas dan
mengacungkannya ke mulut. Salah satu staf
memberi kode kepada saya untuk mulai me-
nyapa. Saya mengucapkan salam dan men-
jabat tangan Arie.
“Beberapa bulan lagi, usia Pak Arie satu
abad,” Suteja Neka membuka pembicaraan.
Seperti biasa, dia datang menjenguk sahabat-
nya di jam sarapan. Tapi Arie tidak merespons
kata-katanya. Dia hanya menggeleng, meng-
hela napas panjang, dan merengut. Usia yang
panjang bukan fakta yang menghibur bagi-
nya. Kepada perawatnya, Arie justru kerap
mengatakan ingin cepat mati.
“Masih ingin melukis?” tanya saya, ber-
usaha mengalihkan tema. Dia masih terdiam,
tapi ujung matanya tampak basah. “Pak Arie
selalu menangis jika ditanya soal melukis,”
Wita menyadarkan betapa saya kurang peka
karena bertanya tentang melukis ke maestro
yang telah kehilangan penglihatannya.
“Masih ingat Desa Penestanan?” saya kem-
bali mencari topik. Kali ini, upaya saya berha-
sil. “Masih ingat semua. Mereka orang-orang
baik,” jawabnya terbata-bata. Saya takjub. Ia
masih ingat komunitas yang pernah dibang-
kitkannya dari kemiskinan.
“Masih ingat Cakra, Soki, Pugur?” saya mu-
lai menyebut nama murid-muridnya. “Bukan
itu saja. Ada banyak, 20 orang, you tahu itu,”
ujarnya dengan pelafalan yang lebih jelas.
Selama 15 menit kami saling terdiam. Arie
sudah mulai bersiap untuk tidur siang dan
saya pun pamit. “Memargi,” katanya, mengu-
capkan selamat jalan dalam bahasa Bali.
Saya meninggalkannya dengan hati lega. Ada
perasaan puas telah berhasil menemui figur
penting yang tak akan bisa dihapus dari se-
jarah seni rupa Bali.

Juru Sungging
aktivitas di studio
Ketut soki di Desa
penestanan. Kiri,
dari atas: lukisan
bertajuk Upacara
Perkawinan dari
nyoman cakra;
cakra, murid per-
tama arie smit,
yang masih aktif
Foto: pU berkarya.


tU s


ayo


Ga/a


rKa


pr


oje


ct.

Free download pdf