Di belakang masjid berdiri sebuah bangunan yang
digunakan untuk kantor dan perpustakaan. Di pojok yang lain
juga ada tempat yang digunakan untuk tempat gharim dan
tempat menginab bagi mereka yang datang bertamu.
“Kamu jangan terpengaruh pada mereka yang mengatakan
Ahmadiyyah sesat,” ujarnya
Mendengar ucapannya aku tersentak. “Jangan- jangan
memang benar sesat,” pikirku.
Namun aku tidak bisa ambil kesimpulan tentang apa
Ahmadiyyah. Ilmuku tentang Islam hanya sedikit, seujung
kuku pun barangkali tidak kupunyai. Aku hanya tahu seputaran
shalat lima waktu, puasa serta akhlak baik dan buruk. Lebih
dari itu aku tidak mengerti. Aku hanya ingat apa yang
diucapkan orang tuaku saat di kampung. ‘Kamu hati-hati.
Jangan sampai terbawa masuk aliran sesat. Sekarang banyak
aliran yang tidak jelas. Jika kamu sesat, berarti neraka
hadangannya.’
Karena takut akan terbawa aliran sesat, hatiku jadi tidak
enak ikut Mul. Apa yang dia sampaikan tidak kupedulikan.
Hatiku bergejolak agar tidak mendengarkan apayang
diucapkannya.
Berada di masjid Al Mubarak sudah serasa di neraka,
membosankan dan membuatku gelisah. Aku berusaha cari
alasan agar bisa cepat keluar.
“Maaf Mul. Aku harus segera ke pasar. Lain kali saja. insya