disiapkan dan kapan pendaftaran ulangnya. Kemudian cepat
koran kulipat dan naik bis ke Solok yang kebetulan berhenti
di depanku.
Sorenya pulang dari Solok aku bersikap seakan tidak terjadi
apa-apa. Malamnya, baru abak bertanya apakah aku lulus
atau tidak di Ujian Perintis III. Aku jawab aku lulus. Orang
tuaku kaget bercampur cemas.
“Kau mau mengambil yang mana? Kedokteran atau IKIP?”
Tanya abak.
“Aku ambil Kedokteran,” jawabku singkat.
“Kau kuliah di kedokteran, biayanya dengan apa?
Temanku yang anaknya kuliah di kedokteran, dia harus
menggadaikan sawah untuk membayar biaya masuk. Belum
lagi biaya kuliah sampai kau tamat. Gajiku tidak cukup untuk
itu. Sawah yang akan digadaikan pun aku tak punya.”
Aku hanya tersenyum mendengar kekhawatiran yang
disampaikan abak. Abak pernah menyampaikan bahwa
untuk masuk kedokteran harus membayar sampai 1 juta
rupiah. Itu yang dialami temannya yang anaknya masuk
fakultas kedokteran di Jakarta. Aku tidak tahu universitasnya
apa. Sementara gaji abak tidak sampai Rp 100 ribuperbulan.
“Bak. Aku sudah baca di pengumuman ini.” Aku
sodorkan lembaran koran yang tadi kusimpan di tas
sandangku.
“Di sini ditulis biayanya tidak banyak. Hanya Rp