Di samping itu, nampak
jelas bahwa gagasan Islam
Moderat ini mengabaikan
sebagian dari ajaran Islam
yang bersifat qath’i, baik
dari sisi redaksi (dalâlah)
maupun sumbernya
(tsubût), seperti:
superioritas Islam atas
agama dan ideologi lain,
kewajiban berhukum
dengan hukum syariah,
keharaman wanita
Muslimah menikah
dengan orang kafir, dan
kewajiban negara
memerangi negara-negara
kufur hingga mereka
masuk Islam atau
membayar jizyah.
Tujuannya
tidak lain
adalah menjauhkan dan
membuat ragu Umat
Islam dari pemahaman
Islam, agar nilai-nilai dan
praktek Islam khususnya
yang berhubungan
dengan politik Islam dan
berbagai hukum-hukum
Islam lainnya dapat di
eliminasi dari kaum
muslim dan diganti
dengan pemikiran dan
Budaya Barat.
Pasalnya, kata 'moderat'
ini diambil dari sejarah
kelam bangsa Eropa dari
konflik gerejawan yang
menipu dengan dalih
agama untuk merampas
rakyat. Maka Para
Cendekiawan pada masa
itu muak dan ingin
menghapus peran agama
dalam kehidupan. Oleh
sebab itu terjadilah konflik
dan perdebatan yang
menghasilkan
kesepakatan tentang
ffashluddin 'anil hayaah
atau dikenal dengan
moderat.
Salah satu rumusan hasil
konferensi, juga
menegaskan bahwa
pembaruan (tajdid)
pemikiran Islam sangat
dibutuhkan. Hal ini untuk
merespons hal-hal baru
yang belum ada
penjelasannya secara
tegas dan rinci dari teks-
teks keagamaan (Alquran
dan hadis), demi
kemaslahatan umum.
Fatwa keagamaan
tentang itu dapat
berubah sejalan dengan
perubahan waktu,
tempat, dan adat
kebiasaan masyarakat,
dengan tetap
memperhatikan prinsip
dan kaidah umum syariat,
serta kepentingan umum.
Muchlis juga mengatakan
bahawa pembaruan
hanya boleh dilakukan
Ulama yang kompeten di
bidangnya agar tajdid
(pembaruan) tidak
berubah menjadi tabdid
(pengaburan).
Rumusan
lainnya mengindentifikasi
bahwa pihak yang
terdepan dalam menolak
pembaharuan
keagamaan adalah
kelompok-kelompok
ekstrem dan teroris pro
kekerasan. Propaganda
mereka berdiri atas
pemalsuan pemahaman
dan manipulasi istilah-
istilah agama.